Menyesap Nikmat Kopi Gayo Khas Aceh




Kopi Gayo khas Aceh, disukai masyarakat lokal maupun internasional (VIVAlife/Zulfikar HuseinZulfikar Husein (Lhokseumawe))




Kopi Gayo khas Aceh, disukai masyarakat lokal maupun internasional (VIVAlife/Zulfikar HuseinZulfikar Husein (Lhokseumawe))



VIVAlife - Di Kabupaten Aceh Tengah, api unggun berjajar sepanjang jalan. Masyarakat berkumpul di sekelilingnya. Di masing-masing tangan mereka, terdapat cangkir dengan api mengepul di atasnya.

Udara dingin di daerah itu tepat dinikmati bersama secangkir kopi hangat. Lagipula Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah memang dikenal sebagai penghasil kopi. Salah satu andalannya: Kopi Gayo.


Cita rasa Kopi Gayo terbilang. Biji kopinya dipetik langsung dari kebun setempat. “Kemudian kami olah sendiri menjadi kopi. Mulai dari penjemuran, pemanggangan, sampai penyajian ke pelanggan,” terang Jager, seorang pemilik kedai Kopi Gayo di Takengon.


Dia melanjutkan, biji yang dibeli dari petani diproses dengan cara berbeda, tergantung tujuan pembuatan jenis kopi. Untuk espresso misalnya, Jager menjemur biji kopi satu hingga dua minggu.


“Sampai kita dapat rasa yang enak, tidak pahit,” imbuh Jager. Di kedainya, Jager menyediakan berbagai jenis kopi. Di antaranya: espresso, latte, black coffee, chocolate coffee, dan masih banyak lagi.


Harga yang ditawarkan cukup murah. Untuk secangkir espresso, hanya perlu merogoh kocek Rp6 ribu hingga Rp7 ribu. Sensasi wangi dan kental bercampur pahit khas kopi terbaik Aceh sudah bisa dirasakan.


Kedai milik Jager termasuk satu dari puluhan kedai di Takengon dan Kabupaten Aceh Tengah. Masing-masing menyajikan citarasa kopi asli yang langsung diolah di tempat. Saking banyaknya kedai kopi di Aceh, wilayah itu dikenal sebagai Negeri Seribu Warung Kopi.


Namun kini, kedai-kedai kopi beranjak modern. Mereka didesain lebih nyaman, lengkap dengan bangku untuk berkumpul dan sambungan internet agar pengunjung betah berlama-lama bercengkerama.


Tak hanya dinikmati masyarakat lokal, kopi Aceh juga jadi favorit warga dunia. Konon, ada riwayat sampai Kopi Gayo bisa terkenal. Para petani di Takengon merapal “mantra” sebelum menanam kopi.


Bismillah Siti Kewe kunikahen ko orom kuyu wih kin walimu tanoh kin saksimu Lo kin saksi kalammu (Bismillah, Siti Kewe kunikahkan kau dengan angin air walimu, tanah saksimu, matahari saksi kalammu),” demikian bunyi “mantra” yang dimaksud.


Kopi Gayo dari Aceh Tengah memang dulunya disebut Siti Kewe. “Dulu orang sini menyebut kopi itu ‘Siti Kewe’,” cerita Maharadi, warga Gayo yang juga penikmat kopi. Entah apa alasan di baliknya.


Selain kopi, suasana sejuk, keindahan panorama alam, serta kesegaran buah yang dihasilkan juga membuat Takengon di Aceh Tengah jadi destinasi menarik bagi sejumlah wisatawan lokal. (ren)