Mengulik Sejarah Tradisi Saji Indonesia




Sejumlah peranti saji dipamerkan dalam Pameran Peranti Saji Indonesia di Assembly Hall Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (19/9/2013). ( VIVAlife/Marlina Irdayanti)




Sejumlah peranti saji dipamerkan dalam Pameran Peranti Saji Indonesia di Assembly Hall Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (19/9/2013). ( VIVAlife/Marlina Irdayanti)



VIVAlife - Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, serupa kalung mutiara yang masing-masing butirnya menyimpan kekayaan tersendiri. Bukan hanya keindahan alam dan keragaman masyarakat. Tetapi juga kuliner yang beraneka rasa.


Menikmati sajian itu, tak cukup hanya melalui kelezatan dan keharuman aroma masakan yang menggoda. Lewat kuliner, ada ritual budaya yang bisa diresapi. Dari cara penyajiannya, ada nilai sejarah yang bisa dikenali. Bahkan peranti saji yang digunakan pun memiliki makna tersendiri.


Sejak zaman kerajaan, acara makan bukan sekedar menikmati sajian. Melainkan ada jamuan megah dengan perangkat makan lengkap. Semuanya dibuat dengan sentuhan seni. Anyaman, gerabah, sampai ornamen perak. Tradisi itu masih dipertahankan hingga kini.


Di Aceh misalnya, ada dulang kuningan yang piringannya bertahtakan 52 lengkungan mirip mahkota bunga. Biasanya digunakan sebagai hantaran pernikahan atau wadah aneka jajan dan buah-buahan. Ada pula tutup saji dari perunggu yang memiliki motif rumit dan detil.


Lain lagi dengan peranti saji khas Jambi. Terdapat sepaket ceret dan mangkok bermotif sederhana. bahannya terbuat dari kuningan. Yang paling menarik, jambangan buah dengan ornamen sulur. Ia berdiri di atas kaki berbentuk seperti pilar.


Peranti saji di Jawa didominasi bahan perak. Jawa Barat bahkan terang-terangan menyerap budaya mewah nan klasik Eropa. Sebuah sendok penyaring teh saja, dibuat dari perak sterling dari zaman akhir Victoria. Ornamen perak juga menghiasi gelas-gelas kaca.


Jawa Barat juga mengenal peranti saji sederhana berbahan daun. Pembuatannya hanya ditekuk dan disemat dengan lidi. Jika layu, tinggal direndam air dingin.


Dikenal pula teknik filigree. Jauh lebih rumit dan detil, karena satu per satu komponen harus dipatri dengan pasta. Biasanya berfungsi sebagai pinggan dan mangkok. Teknik ini banyak digunakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Sulawesi Tenggara.


Peranti saji yang terbuat dari gerabah atau tanah liat bakar, sering ditemui di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Biasanya diperindah dengan ornamen batik. Berbeda dengan peranti saji di Nusa Tenggara yang dibuat dari kayu halus. Mirip dengan alat makan khas Papua.


Hanya saja, karena Papua memiliki banyak perairan seperti sungai dan muara, peranti sajinya terinspirasi dari bentuk perahu. Sedangkan Kalimantan sering menyajikan hidangan dengan peranti berbentuk anyaman.


Sayangnya, modernitas zaman membuat peranti saji tradisional perlahan seolah tergantikan dengan barang-barang buatan pabrik. Semua diciptakan dengan takaran kepraktisan.


Untuk mengingat kembali seni budaya dalam perangkat saji Indonesia, Dewan Kerajinan Nasional membuat sebuah buku. Judulnya Peranti Saji Indonesia, Ragam dan Kekhasannya. Satu paket dengan Peranti Saji Indonesia, Kuliner dan Penyajiannya.


Buku setebal 227 halaman ini memuat berbagai peranti saji lengkap dengan penjelasan dan historinya. Perjalanan peranti saji dari masa ke masa, juga terekam di sini. (eh)