Memutus Lingkaran Setan Predator Seks Anak




Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. (VIVAnews/Joseph Angkasa)




Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. (VIVAnews/Joseph Angkasa)



VIVAlife - Kekerasan seksual mengancam dunia anak. Wajah-wajah polos yang seharusnya asyik bermain itu dihantui perbuatan kelam “iblis” paedofilia yang siap menyasar mereka kapan saja.

Lihat saja kasus yang menimpa AK, bocah Taman Kanak-kanak yang dilecehkan petugas kebersihan di sekolahnya. Belum lagi ratusan anak yang menjadi korban Emon, predator seks asal Sukabumi.


Kasus kekerasan seksual anak ternyata memunculkan ironi. Fenomena itu menciptakan lingkaran setan: siapa yang pernah menjadi korban ada kemungkinan menjadi pelaku di kemudian hari.


Dua kasus belakangan bisa menjadi bukti. Salah satu pelaku pencabulan AK ternyata juga korban saat berusia 14 tahun. Emon mengalami hal serupa. Di usia 11 tahun, ia menjadi korban sodomi.


Menurut Kepala Bagian Psikologi Polda Metro Jaya, Ajun Kombespol Hary Prasetya mayoritas pelaku kekerasan seksual memang pernah menjadi korban hal yang sama. Alasannya bisa dendam, bisa pula trauma.


“Bisa jadi karena dia tidak bisa melakukan pada orang yang bersangkutan, pelampiasannya ke orang lain. Dari situ dia mendapatkan kenikmatan,” ungkap Hary pada VIVAlife.


Namun, tidak ada ciri khusus yang menunjukkan seseorang merupakan pelaku kekerasan seksual anak, alias paedofil. Hary menuturkan, hanya sikap mereka yang bisa mengindikasikan kemungkinan itu.


“Rasa percaya dirinya rendah, cenderung tertutup. Di hadapan umum mungkin biasa, tapi di dalam diri ada rasa minder yang teramat sangat. Hal-hal pribadi tidak akan dia ceritakan ke orang lain,” sebutnya.


Hanya saja, tidak semua korban pencabulan akan menjadi pelaku di masa depan. Korban kekerasan seksual bisa menjelma menjadi pelaku hanya dalam kondisi tertentu.


Dijelaskan Agustina Hendrati, psikolog anak dari Universitas Atmajaya, itu terjadi pada korban yang tidak mendapat penanganan, bahkan tidak ketahuan.


“Kalau sudah ketahuan, biasanya akan mendapat penanganan, termasuk dari ahli. Tiap ada perubahan periode hidup pun akan terus dipantau, bahkan ada booster atau konsultasi lanjutan,” katanya.


Soal berapa lama mereka bisa sembuh, tidak bisa digeneralisasi. Yang jelas, sampai berbulan-bulan. Bahkan ada yang bisa bertahun-tahun.


Soal itu, Hary setuju. “Harus ada pengawasan, bimbingan, motivasi, dan terapi dari ahlinya. Korban juga jangan disalahkan. Itu akan terinternalisasi dan menyebabkan trauma berkepanjangan,” ucapnya.


Ia bahkan menyebut, pelaku pun bisa disembuhkan. Hanya saja, perlu upaya sangat besar dari ahli. Juga butuh kemauan dari orang yang bersangkutan. “Kalau dia menikmati, ya tidak bisa sembuh,” imbuhnya. (umi)