Hobi belanja yang berlebihan bisa berbahaya. (123rf.com)
Hobi belanja yang berlebihan bisa berbahaya. (123rf.com)
VIVAlife - Anda pencinta belanja? Hati-hati terkena sindrom “fashionorexic”. Itu merupakan kondisi saat seseorang rela kelaparan dan tidak membayar tagihan demi mendapat baju baru.
Fenomena itu bukan hal baru. Di Inggris, terdapat 44 persen masyarakat yang terperangkap kebiasaan “beracun” itu. Itu terungkap melalui survei situs belanja Vouchercodes.
Orang-orang itu rela melewatkan makan, melemparkan tanggung jawab pada orang tua, dan terlambat membayar tagihan. Semua demi produk non-primer atau sekadar perawatan kecantikan.
Satu dari sembilan penderita fashionorexic itu mengaku setidaknya 12 kali makan tidak benar dalam setahun. Uang yang seharusnya untuk makan, digunakan membeli busana, aksesori, atau berlibur.
Fakta yang terjadi tak cukup sampai di situ. Satu dari enam fashionorexic bertahan makan roti panggang dan kacang selama dua pekan, demi membiayai hobi belanja mereka.
Satu dari delapan orang di Inggris, artinya sekitar 13 persen, mengaku bermental “pengemis”. Mereka mengandalkan bantuan pinjaman dana dari orang lain untuk berbelanja. Dalam satu waktu, mereka bisa “mengemis” £40 hingga £70, atau sekitar Rp750 ribu hingga Rp1,3 juta.
Di bawah itu, sebanyak 12 persen warga Inggris, khawatir soal tagihan yang terlambat dibayarkan. Seorang fashionorexic, rata-rata tujuh kali melewatkan membayar tagihan dalam setahun.
Ironisnya, 16 persen dari mereka menyerahkan tanggung jawab pembayaran atas belanja impulsifnya pada orang tua. Sembilan persennya, menghabiskan akhir pekan di rumah agar bisa hidup “menumpang” dan tak perlu mengeluarkan uang.
Alasan sepele
Yang menarik, para fashionorexic melakukan hal-hal tak masuk akal itu untuk alasan sepele. Mereka tak bisa mengontrol hasrat berbelanja, karena 39 persennya ingin memperbaharui koleksi busana di lemari.
Sementara itu, 35 persen dari mereka, menghabiskan uang untuk keluar malam. Seperempat warga Inggris mengalokasikannya untuk membeli tiket pertunjukan, dan sisanya guna perawatan kecantikan, pembelian aksesori, serta liburan.
Sebenarnya, survei menunjukkan 32 persen fashionorexic merasa bersalah atas pengeluaran mereka yang berlebihan. Namun, mereka mengusir pikiran itu jauh-jauh.
Pihak yang paling sering mengalami fashionorexic adalah mahasiswa dan profesional muda. Menurut juru bicara Vouchercodes, mereka terlena oleh kehidupan yang mengasyikkan dengan harta benda berlimpah.
Menurut juru bicara itu, satu-satunya solusi untuk mengontrol pengeluaran berbelanja adalah perencanaan keuangan. “Mungkin itu terdengar kuno dan membosankan, tapi itu juga alat terbaik agar tak terjerumus fashionorexic,” katanya, seperti dikutip Daily Mail. (art)