Hati-Hati, Bertengkar Dengan Pasangan Tingkatkan Penyakit Jantung




Kerap bertengkar dengan pasangan ternyata bisa meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. (mrmarriagesaver.com)




Kerap bertengkar dengan pasangan ternyata bisa meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. (mrmarriagesaver.com)



VIVAlife - Sedih dan sakit hati, seolah menjadi dua hal yang tidak terpisahkan saat bertengkar dengan pasangan. Kegiatan sehari-hari pun menjadi sulit dijalankan. Tapi bukan hanya itu dampak dari bertengkar dengan kekasih hati, kesehatan jantung pun turut berisiko.

Hal itu diungkapkan oleh tim peneliti dari University of Utah, Amerika Serikat. Mereka mengungkap bahwa beberapa orang yang memiliki pasangan yang tidak selalu suportif dan terkadang menjengkelkan, berisiko mengalami kalsifikasi atau pengapuran arteri, dibanding mereka yang mengaku bahwa pasangannya selalu mendukung apapun yang ia lakukan.


Artinya, pembuluh darah orang yang sering merasa tersakiti akan lebih rentan dan akhirnya mendatangkan risiko kematian dini yang lebih besar.


"Ada riset berskala besar yang mengatakan hubungan yang kita jalin adalah alat prediksi tingkat kematian kita, terutama pada penyakit kardiovaskular. Namun kebanyakan penelitian cenderung mengabaikan fakta bahwa banyak hubungan yang diwarnai dengan aspek positif maupun negatif atau ambivalensi," tutur Dr. Bert Uchino, pakar psikologi dari University of Utah seperti dilansir Daily Mail.


Untuk itu Dr. Uchino dan rekan-rekannya tertarik menggali bagaimana kompleksitas hubungan ini dapat memprediksi kesehatan kardiovaskular seseorang. Mereka kemudian meminta 136 pasangan dengan usia rata-rata 63 tahun untuk mengisi kuesioner.


Kuesioner tersebut digunakan untuk mengukur kualitas hubungan pernikahan mereka, sekaligus tinggi rendahnya dukungan dari pasangan. Secara spesifik, kuesioner tersebut mengindikasikan apakah pasangan cenderung bersikap suportif atau justru menjengkelkan disaat mereka membutuhkan dukungan, saran atau bantuan.


Hasilnya, hanya 30 persen partisipan yang mengaku pasangannya selalu memberikan dukungan positif, sedangkan sisanya menganggap bahwa pasangan mereka ambivalen, terkadang membantu, namun terkadang hanya mengganggu dan membuat mereka kesal.


Setelah itu, para peneliti melakukan pengecekan pada kondisi pengapuran arteri koroner menggunakan CT scan. Dari hasil pengecekan ditemukan, tingkat pengapuran arteri partisipan terlihat lebih tinggi pada pasangan yang melihat belahan jiwanya seringkali bersikap ambivalen antara satu sama lain. Tapi jika hanya satu pihak yang merasakan hal itu, maka risikonya menjadi lebih sedikit.


Meski tidak mengetahui dengan jelas alasan di balik sikap pasangan terhadap kesehatan jantung, para peneliti berhipotesis bahwa jika kedua pihak merasa pasangannya ambivalen, ada kemungkinan perubahan perilaku mereka terhadap satu sama lain yang menyebabkan terjadinya pengapuran arteri.


"Mereka cenderung berinteraksi atau memproses informasi dari pasangannya dengan cara yang membuat mereka makin stres atau malah menekan potensi dukungan di dalam hubungan. Pada akhirnya ini akan mempengaruhi risiko penyakit kardiovaskular mereka," terang Dr Uchino.